<p class="article-title"><em style="font-size: 10px;">Oleh Fulca Veda</em></p>
<div class="article-body">
<div><span>Bandung, ITB Career Center — </span>Merujuk hasil <em>Tracer Study </em>ITB tahun lalu, alumni ITB angkatan 2009 beranggapan bahwa manfaat Prodi pada umumnya dirasakan sudah sangat baik. Namun, hal yang dirasa masih kurang adalah terkait dengan meningkatkan keterampilan kewirausahaan.<br /><br />Anggapan ini juga diamini Ketua Kelompok Keahlian Kewirausahaan dan Manajemen Teknologi SBM ITB, Wawan Dhewanto, Ph.D. Dalam <a href="https://tracer.itb.ac.id/id/berita/2017/12/simpul-kewirausahaan-dukung-agenda-entrepreneur-university-di-itb">wawancara</a> yang telah dilakukan pihak Tracer Study ITB pekan lalu, Wawan Dhewanto, Ph.D., memaparkan bahwa salah satu keunggulan anak ITB adalah pola pikir sistematis mahasiswa tekniknya. Namun menurutnya, terkait kewirausahaan dan agenda ITB sebagai <em>entrepreneur university</em>, banyak mahasiswa ITB yang tidak memahami target pasar yang akan disasarnya.<br /><br />"Mencetak <em>entrepreneur </em>harus tahu <em>product </em>& <em>market fit, </em>agar tahu apa yang diinginkan pasar. Kolaborasi itu perlu, <em>sayang </em>kalau anak teknik <em>jago bikin </em>produk, tapi tidak paham pasar. Namun, untuk tahu apakah semuanya bisa dikomersilkan, tak hanya sekedar mengikuti <em>trend</em>, tapi <em>passion </em>dan keuletan orang juga jadi pertimbangan." paparnya.<br /><br />Keuletan dan menjadi pribadi yang dinamis merupakan satu diantara banyak keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha. Hal ini turut disampaikan oleh pendiri <em>startup </em>Prelo, lulusan Informatika ITB 2008, Fransiska PW Hadiwijana. PW, panggilan akrabnya, menilai, bahwa mahasiswa teknik yang ingin menjadi <em>entrepreneur </em>juga perlu mempelajari banyak hal diluar bidangnya.<br /><br />"Dalam hal wirausaha, baik kamu seorang billioner maupun baru merintis sebuah <em>start up, </em>setidaknya berpikir layaknya seorang manager adalah perlu. Ini termasuk menciptakan <em>customer archetype, </em>yakni dengan menggambarkan sebuah persona pengguna produk yang akan kita jual. Nantinya, kita bisa membuat <em>prototype </em>yang memungkinkan sebuah <em>item </em>terproduksi massal, sehingga bisa mengena kepada siapa objek produk itu dibuat dan bagaimana design produk itu bisa mengatasi <em>problem </em>mereka," jelasnya saat memberikan materi pada Program Pelatihan ITB Career Center 2017, Competency Based Development, Sabtu (25/11).<br /><br />Prelo, sebuah <em>start up</em> <em>e-commerce </em>yang bergerak dalam jual beli barang bekas, merupakan evolusi dari start up yang dibangun PW sebelumnya, Kleora—yang telah <em>pivot</em>. Pasalnya, beralih produk dan jasa dalam dunia bisnis adalah wajar. Prelo sendiri dibangun atas masukan atas dasar <em>user feedback </em>dari berbagai konsumen di <em>startup </em>terdahulunya, untuk melawan pembajakan dengan mengkurasi semua barang yang dijual di <em>platform-</em>nya.<br /><br />“Dimana pun kita bekerja, di <em>start up </em>berbasis jasa seperti Prelo, yang paling krusial harus dimiliki seorang wirausaha adalah manejemen, <em>attention to detail, </em>adaptasi dengan masalah, dan akuntansi/finansial. Kita harus mau mendengarkan konsumen, untuk mengatasi masalah bersama. Lalu, mengapa perlu belajar finansial? Meski membosankan, akuntansi dan management finansial dalam eksekusi proyek adalah perlu. Hal ini bermanfaat agar kita bisa mengetahui prioritas kerja mana yang perlu didahulukan, resiko apa yang harus dikalkulasi, serta seberapa jauh kerja kita bisa berhasil dalam rasio profit tertentu,” ujar PW, penerima beasiswa Singularity University tahun 2012 di Sillicon Valley<span class="st"><em> </em>ini</span>. (fv)</div>
</div>
